Rencana pemerintah mengesahkan Sultan Alma’mun sebagai Sultan Bulungan X menggantikan Ayahanda Sultan Maulana Djalaluddin (Sultan Bulungan IX) yang akan dilantik melalui prosesi Kesultanan Bulungan, menjadi perhatian di Eropa, lantaran adanya aset kekayaan yang nilainya cukup besar dan masih tersimpan di sana.
Soal kekayaan kesultanan Bulungan itu informasinya disampaikan oleh William yang menjadi duta besar Belanda di Washington. William memberitahu keberadaan asset itu melalui surat kepada Sultan Alma’mun.
“Tahun 1992 bulan Maret ketika saya berada di Den Hagg Belanda, melalui penasehat Ratu Belanda memberi sinyal untuk pengambilalihan aset Kesultanan Bulungan. Tapi sangat disayangkan pihak Kedutaan Indonesia yang berada di Den Hagg menyampaikan kepada Menteri Luar Negeri Belanda bahwa keluarga penerima royalti dari Bulungan melakukan protes atas rencana pengalihan aset tersebut,” cerita Sultan Alma’mun didampingi Sultanah II Siti Harra Ismail (Istri Sultan Alma’mun) dan kedua Putranya Raja Muda Dato Abdul Jalal dan Raja Muda Phon Toea di Samarinda.
Rombongan keluarga Sultan Bulungan ini menghadap Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak untuk memberitahu adanya rencana pentahbisan Kesultanan Bulungan tersebut.
Aset yang disebut-sebut sangat berarti nilainya untuk Indonesia itu hanya bisa diurus oleh keturunan asli Kesultanan Bulungan, Sultan Maulana Djalaluddin. Sultan Bulungan ke-IX itu adalah ayah dari tiga orang anaknya yang menjadi ahli waris, yakni Raja Muda Datu Muhammad, Datu Salman dan Datu Alma’mun. “Oleh karena kedua saudara saya telah meninggal, maka hanya tinggal nama saya yang tercatat,” jelas Sultan Alma’mun.
Sultan Alma’mun menegaskan bahwa selain ketiga nama itu, tidak ada pihak manapun yang berhak untuk mengambil alih aset Kesultanan yang ada di Belanda. Hal ini pernah terjadi pasca runtuhnya Kesultanan Bulungan di era Soeharto. Pada waktu itu, pemerintah Indonesia telah dua kali mengutus pengacaranya ke Belanda untuk meminta agar aset Kesultanan Bulungan diserahkan ke pemerintah Indonesia. Namun permintaan tersebut ditolak oleh Ratu Belanda, sebab aset tersebut bukan mengatasnamakan Kesultanan Bulungan, melainkan atas nama Maulana Muhammad Djalaluddin.
“Yang jelas dana itu ada di Belanda dan inilah yang sedang kita upayakan untuk segera dicairkan oleh Pemerintah Belanda dan dapat kita pergunakan untuk kepentingan masyarakat Bulungan,” ungkap Sultan Alma’mun.
Terkait harta kekayaan maupun benda-benda berharga yang ada di dalam Istana Kesultanan Bulungan, Sultan Bulungan X menjelaskan bahwa sebelum tragedi berdarah 24 Juli 1964, di dalam istana banyak benda-benda berharga seperti Patung Gajah Emas, Patung Singa Emas dan perak serta barang berharga lainnya. Namun semua hilang seketika saat tragedi berdarah berupa pembumihangusan Kesultanan Bulungan dan keturunan kesultanan. Tragedi itu diketahui oleh militer Indonesia.
“Yang sempat diselamatkan waktu itu adalah Mahkota Kesultanan, keranti, Pedang milik Sultan dan tempat peludahan. Namun barang-barang berharga itu saya dapatkan di Brunei Darusallam. Karena barang-barang tersebut sudah pernah sampai di negara lain dan kembali dijual di Indonesia. Atas inisiatif sendiri barang-barang tersebut saya tebus dan hasilnya dari 4 jenis barang yang ditemukan 37 jenis benda saya kembalikan ke pemerintah Bulungan melalui Datuk Syukur yang waktu itu menjabat sebagai kepala Cagar Budaya dan Anang Dachlan ketika itu sebagai Bupati bulungan,” ungkap Sultan Alma’mun. #