Jumat, 22 Maret 2013

Sultan Bulungan Punya Aset di Eropa


Rencana pemerintah mengesahkan Sultan Alma’mun sebagai Sultan Bulungan X menggantikan Ayahanda Sultan Maulana Djalaluddin (Sultan Bulungan IX) yang akan dilantik melalui prosesi Kesultanan Bulungan, menjadi perhatian di Eropa, lantaran adanya aset kekayaan yang nilainya cukup besar dan masih tersimpan di sana.
Soal kekayaan kesultanan Bulungan itu informasinya disampaikan oleh William yang menjadi duta besar Belanda di Washington. William memberitahu keberadaan asset itu melalui surat kepada Sultan Alma’mun.
“Tahun 1992 bulan Maret ketika saya berada di Den Hagg Belanda, melalui penasehat Ratu Belanda memberi sinyal untuk pengambilalihan aset Kesultanan Bulungan. Tapi sangat disayangkan pihak Kedutaan Indonesia yang berada di Den Hagg menyampaikan kepada Menteri Luar Negeri Belanda bahwa keluarga penerima royalti dari Bulungan melakukan protes atas rencana pengalihan aset tersebut,” cerita Sultan Alma’mun didampingi Sultanah II Siti Harra Ismail (Istri Sultan Alma’mun) dan kedua Putranya Raja Muda Dato Abdul Jalal dan Raja Muda Phon Toea di Samarinda.
Rombongan keluarga Sultan Bulungan ini menghadap Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak untuk memberitahu adanya rencana pentahbisan Kesultanan Bulungan tersebut.
Aset yang disebut-sebut sangat berarti nilainya untuk Indonesia itu hanya bisa diurus oleh keturunan asli Kesultanan Bulungan, Sultan Maulana Djalaluddin. Sultan Bulungan ke-IX itu adalah ayah dari tiga orang anaknya yang menjadi ahli waris, yakni  Raja Muda Datu Muhammad, Datu Salman dan Datu Alma’mun. “Oleh karena kedua saudara saya telah meninggal, maka hanya tinggal nama saya yang tercatat,” jelas Sultan Alma’mun.
Sultan Alma’mun menegaskan bahwa selain ketiga nama itu, tidak ada pihak manapun yang berhak untuk mengambil alih aset Kesultanan yang ada di Belanda. Hal ini pernah terjadi pasca runtuhnya Kesultanan Bulungan di era Soeharto. Pada waktu itu, pemerintah Indonesia telah dua kali mengutus pengacaranya ke Belanda untuk meminta agar aset Kesultanan Bulungan diserahkan ke pemerintah Indonesia. Namun permintaan tersebut ditolak oleh Ratu Belanda, sebab aset tersebut bukan mengatasnamakan Kesultanan Bulungan, melainkan atas nama Maulana Muhammad Djalaluddin.
“Yang jelas dana itu ada di Belanda dan inilah yang sedang kita upayakan untuk segera dicairkan oleh Pemerintah Belanda dan dapat kita pergunakan untuk kepentingan masyarakat Bulungan,” ungkap Sultan Alma’mun.
Terkait harta kekayaan maupun benda-benda berharga yang ada di dalam Istana Kesultanan Bulungan, Sultan Bulungan X menjelaskan bahwa sebelum tragedi berdarah 24 Juli 1964, di dalam istana banyak benda-benda berharga seperti Patung Gajah Emas, Patung Singa Emas dan perak serta barang berharga lainnya. Namun semua hilang seketika saat tragedi berdarah berupa pembumihangusan Kesultanan Bulungan dan keturunan kesultanan. Tragedi itu diketahui oleh militer Indonesia.
“Yang sempat diselamatkan waktu itu adalah Mahkota Kesultanan, keranti, Pedang milik Sultan dan tempat peludahan. Namun barang-barang berharga itu saya dapatkan di Brunei Darusallam. Karena barang-barang tersebut sudah pernah sampai di negara lain dan kembali dijual di Indonesia. Atas inisiatif sendiri barang-barang tersebut saya tebus dan hasilnya dari 4 jenis barang yang ditemukan 37 jenis benda saya kembalikan ke pemerintah Bulungan melalui Datuk Syukur yang waktu itu menjabat sebagai kepala Cagar Budaya dan Anang Dachlan ketika itu sebagai Bupati bulungan,” ungkap Sultan Alma’mun. #

TAHUN 1964, KELUARGA SULTAN BOELOENGAN DI BANTAI



BULUNGAN – Perbuatan menyakitkan terjadi pada peristiwa pembantaian keluarga kesultanan Bulungan, mulai dari peristiwa pembakaran keraton pada 24 Juli 1964 silam masih membekas direlung hati paling dalam masyarakat etnis Bulungan. Dimana pada hari itu  sekelompok oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) dikendalikan Partai Komunis Indonesia membumihanguskan keraton dan membantai sadis keluarga dekat Kesultanan Bulungan, bahkan dimana makam mereka juga sampai kini belum ditemukan oleh pihak keluarga.
Ironisnya Peristiwa pahit ini sampai sekarang malah terkesan ditutup-tutupi, sepetinya Tidak ada niat tulus dari pemerintah untuk memulihkan atau meminta maaf atas kejadian berdarah itu. Pada peristiwa itu tercatat kerabat kesultanan tersisa ada 87 orang jadi korban dan 37 di antaranya meninggal.
Akhirnya, kita memang harus membayar mahal atas perbuatan melanggar HAM Hak Azasi Manusia (HAM) dilakukan oknum TNI terhadap keluarga Kesultanan Bulungan. Pewaris tahta kesultanan misalnya, Datu Maulana Muhammad Al Ma’mun bin Muhammad Djalaludin, sejak peristiwa tragis itu terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya guna meminta suaka politik ke Malaysia dan hingga kini yang mulia Sultan Bulungan X masih menjadi Warga Negara Malaysia.
Akibat pihak kesultanan tidak pernah dilibatkan dalam perundingan-perundingan penting sehingga Indonesia diwilayah utara Kaltim kehilangan jejak sejarah dan itu pula sebabnya Sipadan dan Ligitan hilang. Jika sikap pemerintah tidak segera diperbaiki, kuatir masih ada daerah atau pulau-pulau terluar dari NKRI bakal menjadi milik negara tetangga itu lagi.
Pulau Sipadan dan Ligitan sudah lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Tepatnya hari Selasa, 17 Desember 2002, International Court Of Justice (IKJ yang biasa kita sebut Mahkamah Internasional, mengeluarkan keputusan itu. Dari 17 hakim, 16 memihak Malaysia dan hanya 1 hakim yang mendukung Indonesia.
Kawasan utara Kalimantan Timur yang telah disetujui oleh Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi provinsi baru bernama Kalimantan Utara, sampai kini menyisakan banyak persoalan tentang sejarah dan batas-batas daerahnya. Termasuk terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan itu, masih ada banyak kawasan yang terus menerus menjadi sumber konflik kedua negara.
Simak, misalnya, kawasan Ambalat di perairan Karang Unarang yang kaya minyak dan gas. Malaysia masih terus memprovokasi bahwa kawasan tersebut adalah milik mereka.
Menarik jauh sejarah Kesultanan Bulungan, banyak tokoh-tokoh tua yang meyakini bahwa sebenarnya sebagian daerah yang sekarang masuk menjadi teritori Malaysia adalah daerah kekuasaan Sultan Bulungan. Mulai dari Tawau sampai dengan Lahat Datu yang sekarang menjadi daerah negara bagian Malaysia Timur.
Nah, disebuah daerah di Lahat Datu itu, menurut peminat sejarah Bulungan, Wahab Kiak, ada perjanjian antara Sultan Sulu dengan Sultan Bulungan yang dulu bernama Bologen. Dokumen usang, stablat 1891, kata Wahab Kiak, ada tiga sultan yang tumbuh di    ’Bagian Kepala’ Pulau Borneo, yaitu Kesultanan Brunai Darussalam, Kesultanan Sulu yang wilayahnya sampai ke Filipina Selatan dan Sultan Bologen (Bulungan). Tertera pengakuan dalam perjanjian Inggris itu kata “People Bologen” yang mengartikan Bulungan adalah sebuah negara sendiri.
“Sayangnya negara kita tidak memberikan perhatian kepada fakta-fakta keberadaan kesultanan Bulungan ini,” ucap Wahab Kiak.
Fakta-fakta sejarah, sepertinya selalu menjadi sisi lemah di negeri ini. Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya, karena Indonesia tidak mampu menguatkan bukti-bukti sejarah-terutama tentang Kesultanan Bulungan yang telah muncul berabad-berbad dan akhirnya bergabung dengan Indonesia. (sah/adv/dari berbagai sumber)

Ironisnya Peristiwa pahit ini sampai sekarang malah terkesan ditutup-tutupi, sepetinya Tidak ada niat tulus dari pemerintah untuk memulihkan atau meminta maaf atas kejadian berdarah itu. Pada peristiwa itu tercatat kerabat kesultanan tersisa ada 87 orang jadi korban dan 37 di antaranya meninggal.
Akhirnya, kita memang harus membayar mahal atas perbuatan melanggar HAM Hak Azasi Manusia (HAM) dilakukan oknum TNI terhadap keluarga Kesultanan Bulungan. Pewaris tahta kesultanan misalnya, Datu Maulana Muhammad Al Ma’mun bin Muhammad Djalaludin, sejak peristiwa tragis itu terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya guna meminta suaka politik ke Malaysia dan hingga kini yang mulia Sultan Bulungan X masih menjadi Warga Negara Malaysia.
Akibat pihak kesultanan tidak pernah dilibatkan dalam perundingan-perundingan penting sehingga Indonesia diwilayah utara Kaltim kehilangan jejak sejarah dan itu pula sebabnya Sipadan dan Ligitan hilang. Jika sikap pemerintah tidak segera diperbaiki, kuatir masih ada daerah atau pulau-pulau terluar dari NKRI bakal menjadi milik negara tetangga itu lagi.
Pulau Sipadan dan Ligitan sudah lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Tepatnya hari Selasa, 17 Desember 2002, International Court Of Justice (IKJ yang biasa kita sebut Mahkamah Internasional, mengeluarkan keputusan itu. Dari 17 hakim, 16 memihak Malaysia dan hanya 1 hakim yang mendukung Indonesia.
Kawasan utara Kalimantan Timur yang telah disetujui oleh Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi provinsi baru bernama Kalimantan Utara, sampai kini menyisakan banyak persoalan tentang sejarah dan batas-batas daerahnya. Termasuk terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan itu, masih ada banyak kawasan yang terus menerus menjadi sumber konflik kedua negara.
Simak, misalnya, kawasan Ambalat di perairan Karang Unarang yang kaya minyak dan gas. Malaysia masih terus memprovokasi bahwa kawasan tersebut adalah milik mereka.
Menarik jauh sejarah Kesultanan Bulungan, banyak tokoh-tokoh tua yang meyakini bahwa sebenarnya sebagian daerah yang sekarang masuk menjadi teritori Malaysia adalah daerah kekuasaan Sultan Bulungan. Mulai dari Tawau sampai dengan Lahat Datu yang sekarang menjadi daerah negara bagian Malaysia Timur.
Nah, disebuah daerah di Lahat Datu itu, menurut peminat sejarah Bulungan, Wahab Kiak, ada perjanjian antara Sultan Sulu dengan Sultan Bulungan yang dulu bernama Bologen. Dokumen usang, stablat 1891, kata Wahab Kiak, ada tiga sultan yang tumbuh di    ’Bagian Kepala’ Pulau Borneo, yaitu Kesultanan Brunai Darussalam, Kesultanan Sulu yang wilayahnya sampai ke Filipina Selatan dan Sultan Bologen (Bulungan). Tertera pengakuan dalam perjanjian Inggris itu kata “People Bologen” yang mengartikan Bulungan adalah sebuah negara sendiri.
“Sayangnya negara kita tidak memberikan perhatian kepada fakta-fakta keberadaan kesultanan Bulungan ini,” ucap Wahab Kiak.
Fakta-fakta sejarah, sepertinya selalu menjadi sisi lemah di negeri ini. Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya, karena Indonesia tidak mampu menguatkan bukti-bukti sejarah-terutama tentang Kesultanan Bulungan yang telah muncul berabad-berbad dan akhirnya bergabung dengan Indonesia. (sah/adv/dari berbagai sumber)

Rabu, 20 Maret 2013

PERWAKILAN KABUPATEN BULUNGAN DI SAMARINDA: SEJARAH BULUNGAN  Kalimantan Timur dengan beberap...

PERWAKILAN KABUPATEN BULUNGAN DI SAMARINDA: SEJARAH BULUNGAN
  Kalimantan Timur dengan beberap...
: SEJARAH BULUNGAN   Kalimantan Timur dengan beberapa daerah Kabupaten/Kota saat ini semenjak abad 15 telah memiliki sejarah yang cukup ...
SEJARAH BULUNGAN

  Kalimantan Timur dengan beberapa daerah Kabupaten/Kota saat ini semenjak abad 15 telah memiliki sejarah yang cukup terkenal. Bahkan terdapat dua kerajaan besar  yakni kerajaan Kutai Kertanegara dan Kutai Martapura yang menjadi bukti adanya kerajaan tertua di bumi nusantara. Namun didalam perjalanan sejarahnya ini, sekitar tahun 1555 hingga 1958 wilayah Kalimantan Timur masih terbagi lagi atas beberapa kerajaan besar, yakni Bulungan, Sambaliung, dan Gunung Tabur di wilayah Kalimantan Timur bagian utara dan Kerajaan Paser di wilayah bagian selatan.

  Nama Bulungan berasal dari legenda di kalangan masyarakat Bulungan, di kenal kisah Ku Anyi seorang pemimpin ( periode pertama sekitar 1400 - 1500 SM ) di kawasan Sungai Payan anak Sungai Pujungan yang hidup damai dan sejahtera bersama isterinya. Namun hingga masa tuanya mereka tidak juga mendapatkan keturunan. Setiap saat Ku Anyi berdoa meminta kepada Yang Maha Esa, untuk dikaruniai keturunan.

  Suatu hari saat berburu ke hutan, anjing Ku Anyi menyalak kearah sebatang bambu dan sebutir telur di atas tunggul pohon jemlai. Di bawanya pulang bambu dan telur itu ke rumah, kemudian oleh isterinya benda tersebut di letakkan di para - para dapur. Keesokan harinya mereka mendengan tangisan bayi dari dapur. Ketika dihampiri suara itu berasal dari bambu dan telur yang ia bawa. Sepasang bayi laki-laki dan perempuan itu di beri nama Jau Iru alias Guntur Besar dan Lemlaisuri. Masyarakat kemudian menyebutnya Bulongan ( Bambu dan telur )yang selanjutnya menjadi Bulungan. Versi lain menceritakan bahwa sebutan Bulongan berasal dari kata Bulu ( Bambu ) dan Tengon ( Sungguhan ).

  Pada tanggal 10 April 1950 Kalimantan Timur resmi bergabung dengan Republik Indonesia. Bulungan sebagai wilayah swapraja melalui SK Gubernur Kalimantan No. 186/ORB/92/14 tertanggal 14 Agustus 1950, yang disahkan menjadi Undang UU Darurat No.3/1953 dari Pemerintah RI, menetapkan Sultan Muhammad Djalaluddin ( sultan pada saat itu ) menjadi Kepala Daerah Istimewa pertama, sekaligus Sultan Bulungan yang terakhir.