Jumat, 22 Maret 2013

TAHUN 1964, KELUARGA SULTAN BOELOENGAN DI BANTAI



BULUNGAN – Perbuatan menyakitkan terjadi pada peristiwa pembantaian keluarga kesultanan Bulungan, mulai dari peristiwa pembakaran keraton pada 24 Juli 1964 silam masih membekas direlung hati paling dalam masyarakat etnis Bulungan. Dimana pada hari itu  sekelompok oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) dikendalikan Partai Komunis Indonesia membumihanguskan keraton dan membantai sadis keluarga dekat Kesultanan Bulungan, bahkan dimana makam mereka juga sampai kini belum ditemukan oleh pihak keluarga.
Ironisnya Peristiwa pahit ini sampai sekarang malah terkesan ditutup-tutupi, sepetinya Tidak ada niat tulus dari pemerintah untuk memulihkan atau meminta maaf atas kejadian berdarah itu. Pada peristiwa itu tercatat kerabat kesultanan tersisa ada 87 orang jadi korban dan 37 di antaranya meninggal.
Akhirnya, kita memang harus membayar mahal atas perbuatan melanggar HAM Hak Azasi Manusia (HAM) dilakukan oknum TNI terhadap keluarga Kesultanan Bulungan. Pewaris tahta kesultanan misalnya, Datu Maulana Muhammad Al Ma’mun bin Muhammad Djalaludin, sejak peristiwa tragis itu terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya guna meminta suaka politik ke Malaysia dan hingga kini yang mulia Sultan Bulungan X masih menjadi Warga Negara Malaysia.
Akibat pihak kesultanan tidak pernah dilibatkan dalam perundingan-perundingan penting sehingga Indonesia diwilayah utara Kaltim kehilangan jejak sejarah dan itu pula sebabnya Sipadan dan Ligitan hilang. Jika sikap pemerintah tidak segera diperbaiki, kuatir masih ada daerah atau pulau-pulau terluar dari NKRI bakal menjadi milik negara tetangga itu lagi.
Pulau Sipadan dan Ligitan sudah lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Tepatnya hari Selasa, 17 Desember 2002, International Court Of Justice (IKJ yang biasa kita sebut Mahkamah Internasional, mengeluarkan keputusan itu. Dari 17 hakim, 16 memihak Malaysia dan hanya 1 hakim yang mendukung Indonesia.
Kawasan utara Kalimantan Timur yang telah disetujui oleh Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi provinsi baru bernama Kalimantan Utara, sampai kini menyisakan banyak persoalan tentang sejarah dan batas-batas daerahnya. Termasuk terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan itu, masih ada banyak kawasan yang terus menerus menjadi sumber konflik kedua negara.
Simak, misalnya, kawasan Ambalat di perairan Karang Unarang yang kaya minyak dan gas. Malaysia masih terus memprovokasi bahwa kawasan tersebut adalah milik mereka.
Menarik jauh sejarah Kesultanan Bulungan, banyak tokoh-tokoh tua yang meyakini bahwa sebenarnya sebagian daerah yang sekarang masuk menjadi teritori Malaysia adalah daerah kekuasaan Sultan Bulungan. Mulai dari Tawau sampai dengan Lahat Datu yang sekarang menjadi daerah negara bagian Malaysia Timur.
Nah, disebuah daerah di Lahat Datu itu, menurut peminat sejarah Bulungan, Wahab Kiak, ada perjanjian antara Sultan Sulu dengan Sultan Bulungan yang dulu bernama Bologen. Dokumen usang, stablat 1891, kata Wahab Kiak, ada tiga sultan yang tumbuh di    ’Bagian Kepala’ Pulau Borneo, yaitu Kesultanan Brunai Darussalam, Kesultanan Sulu yang wilayahnya sampai ke Filipina Selatan dan Sultan Bologen (Bulungan). Tertera pengakuan dalam perjanjian Inggris itu kata “People Bologen” yang mengartikan Bulungan adalah sebuah negara sendiri.
“Sayangnya negara kita tidak memberikan perhatian kepada fakta-fakta keberadaan kesultanan Bulungan ini,” ucap Wahab Kiak.
Fakta-fakta sejarah, sepertinya selalu menjadi sisi lemah di negeri ini. Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya, karena Indonesia tidak mampu menguatkan bukti-bukti sejarah-terutama tentang Kesultanan Bulungan yang telah muncul berabad-berbad dan akhirnya bergabung dengan Indonesia. (sah/adv/dari berbagai sumber)

Ironisnya Peristiwa pahit ini sampai sekarang malah terkesan ditutup-tutupi, sepetinya Tidak ada niat tulus dari pemerintah untuk memulihkan atau meminta maaf atas kejadian berdarah itu. Pada peristiwa itu tercatat kerabat kesultanan tersisa ada 87 orang jadi korban dan 37 di antaranya meninggal.
Akhirnya, kita memang harus membayar mahal atas perbuatan melanggar HAM Hak Azasi Manusia (HAM) dilakukan oknum TNI terhadap keluarga Kesultanan Bulungan. Pewaris tahta kesultanan misalnya, Datu Maulana Muhammad Al Ma’mun bin Muhammad Djalaludin, sejak peristiwa tragis itu terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya guna meminta suaka politik ke Malaysia dan hingga kini yang mulia Sultan Bulungan X masih menjadi Warga Negara Malaysia.
Akibat pihak kesultanan tidak pernah dilibatkan dalam perundingan-perundingan penting sehingga Indonesia diwilayah utara Kaltim kehilangan jejak sejarah dan itu pula sebabnya Sipadan dan Ligitan hilang. Jika sikap pemerintah tidak segera diperbaiki, kuatir masih ada daerah atau pulau-pulau terluar dari NKRI bakal menjadi milik negara tetangga itu lagi.
Pulau Sipadan dan Ligitan sudah lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Tepatnya hari Selasa, 17 Desember 2002, International Court Of Justice (IKJ yang biasa kita sebut Mahkamah Internasional, mengeluarkan keputusan itu. Dari 17 hakim, 16 memihak Malaysia dan hanya 1 hakim yang mendukung Indonesia.
Kawasan utara Kalimantan Timur yang telah disetujui oleh Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi provinsi baru bernama Kalimantan Utara, sampai kini menyisakan banyak persoalan tentang sejarah dan batas-batas daerahnya. Termasuk terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan itu, masih ada banyak kawasan yang terus menerus menjadi sumber konflik kedua negara.
Simak, misalnya, kawasan Ambalat di perairan Karang Unarang yang kaya minyak dan gas. Malaysia masih terus memprovokasi bahwa kawasan tersebut adalah milik mereka.
Menarik jauh sejarah Kesultanan Bulungan, banyak tokoh-tokoh tua yang meyakini bahwa sebenarnya sebagian daerah yang sekarang masuk menjadi teritori Malaysia adalah daerah kekuasaan Sultan Bulungan. Mulai dari Tawau sampai dengan Lahat Datu yang sekarang menjadi daerah negara bagian Malaysia Timur.
Nah, disebuah daerah di Lahat Datu itu, menurut peminat sejarah Bulungan, Wahab Kiak, ada perjanjian antara Sultan Sulu dengan Sultan Bulungan yang dulu bernama Bologen. Dokumen usang, stablat 1891, kata Wahab Kiak, ada tiga sultan yang tumbuh di    ’Bagian Kepala’ Pulau Borneo, yaitu Kesultanan Brunai Darussalam, Kesultanan Sulu yang wilayahnya sampai ke Filipina Selatan dan Sultan Bologen (Bulungan). Tertera pengakuan dalam perjanjian Inggris itu kata “People Bologen” yang mengartikan Bulungan adalah sebuah negara sendiri.
“Sayangnya negara kita tidak memberikan perhatian kepada fakta-fakta keberadaan kesultanan Bulungan ini,” ucap Wahab Kiak.
Fakta-fakta sejarah, sepertinya selalu menjadi sisi lemah di negeri ini. Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya, karena Indonesia tidak mampu menguatkan bukti-bukti sejarah-terutama tentang Kesultanan Bulungan yang telah muncul berabad-berbad dan akhirnya bergabung dengan Indonesia. (sah/adv/dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar